Gede on Waste

Enviromental pollution: dirty, contaminating, corrupting, profaning, defiling; pencemaran (polusi) tanah, air, udara; sampah, kesehatan masyarakat, teknik (engineering) lingkungan.

Sunday, August 27, 2006

PLTS atau Waste to Energy?



Setelah lama bersilang pendapat dengan sejumlah elemen masyarakat, akhirnya pemerintah Kota Bandung mendapat angin segar setelah ITB dan PLN bersepakat akan membuat PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Malah kini ketiganya, yaitu ITB, PLN, dan pemkot Bandung (Pikiran Rakyat, Rabu, 2/8/06) berencana membuat PLTS atau waste to energy (WTE). Mereka bersikeras membangun teknologi pemunah sampah secara insinerator yang dilengkapi generator meskipun ditentang banyak orang.

Secara substansi, PLTS maupun WTE adalah setali tiga uang. Istilah dan sumber dananya “mungkin” berbeda tetapi proses dan dampak polusinya tetap sama. Dari sisi polusi lingkungan dan kesehatan, PLTS dan WTE jauh lebih bahaya daripada sistem disposal sanfil (sanitary landfill) dan buang bebas (open dumping) lantaran pencemarnya dapat menyebar ke dalam tanah, air, dan udara seluas-luasnya.

Pencemar udara
Tingginya keberacunan (toksisitas) PLTS atau WTE karena menghasilkan partikulat debu-abu, gas pembentuk asam klorida, fluorida, dan sulfur dioksida, juga logam berat merkuri, kadmium, seng, nikel, timbal, dll. Karbon organik volatilnya membentuk furan (polychlorinated dibenzofurans, PCDF) dan dioksin (polychlorinated dibenzo-p-dioxins, PCDD). Semua polutan itu mudah tersebar ke segala arah lewat udara, melekat di daun, sayur, buah, sumber air, paru hewan ternak dan paru manusia lalu beredar ke pembuluh darah. Di sanfil hal tersebut tidak terjadi sebab logam-logam beratnya terlarut di dalam lindi, tanpa dioksin, dan tanpa furan.

Sama dengan sanfil, WTE pun menebarkan bau selama koleksi dan transportasi sampah dan penanganannya di instalasi. Ceceran sampah terjadi di mana-mana seperti halnya komposting dan sanfil. Hanya saja dalam WTE gas yang lewat pada lapisan sampah mengekstraksi abu, debu, dan arang lalu membawanya ke cerobong dan ke luar ke udara bebas. Umpan WTE pun tak boleh telat agar produksi energinya stabil sehingga lalu-lintas truk demikian intensif, dikejar-kejar waktu. Reduksi jumlah sampah justru tidak diharapkan di sini. Makin banyak sampah makin disukai agar target energinya tercapai sehingga seolah-olah masyarakat harus membuang sampah sebanyak-banyaknya.

Parahnya lagi, semua uap logam dan campurannya dapat mengembun membentuk aerosol partikel submikron yang berbahaya bagi paru. Begitu pun senyawa lain dalam sampah dan campuran klor, fluor, sulfur, dan nitrogen menghasilkan gas toksik dan korosif. Ketika pembakarannya tak sempurna, muncullah produk pirolisis karbon monoksida, volatile organic compound seperti polycyclic aromatic hydrocarbon, dioksin, furan, jelaga, dan tar. Abu adalah pencemar yang paling jelas, tampak secara visual berupa kepulan yang mengandung uap logam berat, dioksin dan furan. Di permukaan jelaganya pun disarati gas asam klorida dan fluorida yang semuanya dipengaruhi desain insinerator, pemanggang, ukuran dan bentuk ruang pembakarnya.

Karena ukurannya variatif, mulai kurang dari satu mikron sampai 75 mikron, ada partikulat yang mudah masuk ke sistem pernapasan kita. Kira-kira 40% partikel berukuran 1 sampai 2 mikron tertahan di bronkioli dan alveoli paru. Yang ukurannya antara 0,25 sampai 1 mikron justru mudah ke luar masuk lewat udara pernapasan. Tapi yang kurang dari 0,25 mikron akan melekat di paru. Untuk menyisihkannya biasanya ditangani dengan kolektor debu seperti mekanikal separator, wet scrubber, atau fabric filter. Partikel berukuran 15 – 75 mikron secara efektif dipisahkan dengan cyclones sampai efisiensi 85%, dan yang ukurannya lebih kecil dipisahkan dengan fabric filter atau presipitator elektrostatik. Namun demikian, efisiensinya tak bisa sempurna 100% sehingga yang tak tersisihkan itulah yang berbahaya bagi kesehatan kita.

Semua partikel berbahaya itu muncul dari sampah. Timbal dari sampah cat dan kaleng, merkuri dan kadmium dari baterei, aluminum foil, alat plambing, lembar seng, garam-garam volatil. Logam tu mudah menguap karena titik didihnya rendah. Titik didih kadmium 765 oC, merkuri 357 oC, arsen 130 oC, PbCl (timbal klorida) 950 oC, dan HgCl2 302 oC. Semua spesiasi logam tersebut bergantung pada keberadaan klor, sulfur, karbon, nitrogen, fluor selama pembakaran dan pendinginan gasnya. Reaksi dengan klor menghasilkan metal klorida, seperti merkuri klorida. Senyawa tersebut berdampak buruk pada kesehatan, meliputi neurological atau nervous system (syaraf), hepatic system (hati), renal system (ginjal), hematopoietic atau blood-forming system (darah). Kadmium menyerang pernapasan, ginjal, hipertensi, dan tulang. Merkuri menyerang sistem syaraf pusat, mengurangi penglihatan, sensori, pendengaran dan koordinasi tubuh. Timbal dapat mendisfungsi sistem hematologik dan syaraf pusat, merusak fungsi gastrointestinal, reproductive, endocrine, cardiovascular, immunologic, menurunkan taraf kecerdasan serta menyebabkan perilaku abnormal pada anak. Polycyclic aromatic compound, dioksin dan furan merusak paru, perut, ginjal, skrotum, dan liver.

Daya rusak pencemar tersebut dicetuskan oleh senyawa berklor dari plastik, potongan PVC, kertas, karton dll. Dipastikan 60% asam klorida berasal dari PVC, 36% berasal dari kertas. Yang lebih reaktif dan korosif lagi adalah asam fluorida dengan emisi tipikalnya 3 sampai 5 mg per m3. Begitu pun NOx dan SOx yang dapat berubah menjadi asam kuat, asam nitrat dan asam sulfat. Semuanya berkontribusi pada hujan asam yang kaya logam berat, lalu diserap tanaman sayur dan rumput pakan ternak. Efek lainnya ialah kerusakan bangunan, pagar, mobil, motor, kebun, tanaman, dan hutan, termasuk korosi logam di WTE sehingga perlu biaya perbaikan. Belum lagi iritasi kulit dan kerusakan sumber air PDAM yang otomatis menaikkan ongkos produksinya dan berujung pada kenaikan tarif airnya. Luas sekali dampak buruknya, lebih banyak buruknya ketimbang baiknya.

Pencemar tanah-air
Air adalah senyawa penting dalam WTE dan terlibat signifikan dalam pembersihan pencemar terutama partikulat fly-ash dan bottom-ash. Selain kuantitas, kualitasnya pun harus memenuhi syarat minimal sebagai air penangkap partikulat. Air juga digunakan untuk keperluan domestik di instalasi WTE. Semua air bekas tersebut berubah menjadi air limbah yang potensial mencemari air tanah dan air sungai. Air limbahnya kaya logam berat dan garam anorganik, temperaturnya tinggi, sangat asam dan pada saat yang lain bisa menjadi sangat basa. Mudah berubah-ubah bergantung pada kondisi sampahnya.

Sumber utama air limbahnya adalah pengolahan gas (flue gas), baik dari air untuk scrubber flue gas, maupun alkali scrubber untuk gas asam dan kerak sisa pembakaran insinerator. Sumber lainnya dari olahan air baku untuk scrubber (scrubber water pretreatment) dan air untuk boiler. Air limbah ini ber-pH kurang dari 1,3 (sangat asam) dan kaya logam berat nikel, seng, kadmium, merkuri dan timbal. Walaupun logam berat dalam air limbah dari flue-gas itu ditambah kapur untuk presipitasi, tetap saja sekitar 60% masih terkandung di dalamnya. Sisanya inilah yang potensial mencemari air. Bahkan lumpur presipitatnya masih mengandung logam berat sehingga harus ditangani khusus, tak bisa dibuang begitu saja.

Pembersihan kerak bottom-ash di pemanggang insinerator juga sumber air limbah yang karakternya mirip dengan fly-ash. Bottom-ash merepresentasikan 70% - 90% total abu dan kaya oksida mineral. Inilah karakter utama insinerator, logam beratnya sangat tinggi di bottom-ash dan di fly-ash. Potensinya ini bergantung pada spesiasi logam, pH dan ukuran partikel. Makin kecil ukurannya makin besarlah potensi paparan dengan pelarutnya. Pada pH rendah pelindian tembaga, nikel, timbal, seng, dan kadmium makin besar. Tapi riset lain menyatakan, air yang kontak dengan fly-ash cenderung basa. Inilah sifat amfoter, tinggi pada semua pH, berbahaya dalam semua kondisi. Tambah besar lagi bahayanya kalau ada kegagalan operasi dan teledor dalam perawatan. Dalam tahap awal operasinya boleh jadi semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tapi setelah sekian tahun, apalagi kalau ada kendala teknis yang mengharuskan suku cadangnya diimpor, mulailah timbul masalah. Belum lagi kalau ada kesulitan dana.

Insinerator yang dikemas dalam PLTS atau WTE memang cara mudah pemunah sampah, apalagi berlindung di balik frase “sumber energi”. Tetapi di baliknya ada ancaman ekologi dan kesehatan manusia apalagi kalau bermunculan banyak PLTS atau WTE di sekujur cekungan Bandung. Bencana ekologi terbesar akan menjalar dari Bandung.***

1 Comments:

At 9:11 AM, Anonymous Anonymous said...

Blognya saya link di Blog saya. Silakan kunjungi di http://energilimbah.wordpress.com/.

 

Post a Comment

<< Home