Gede on Waste

Enviromental pollution: dirty, contaminating, corrupting, profaning, defiling; pencemaran (polusi) tanah, air, udara; sampah, kesehatan masyarakat, teknik (engineering) lingkungan.

Tuesday, July 18, 2006

Risiko Waste to Energy

Di mana-mana insinerasi selalu menyulut kontroversi. Bukan hanya investasinya yang menyedot dana masyarakat, melainkan juga karena risiko polusi, operasi-rawat dan ketersediaan tenaga terampil terdidiknya yang jadi masalah. Suku cadangnya pun harus bergantung pada pemasoknya di luar negeri sehingga berdampak pada kelancaran operasinya. Di Indonesia apalagi, khususnya di kota gunung seperti Bandung yang cekung, efek buruknya diduga kian menjadi-jadi sehingga waste to energy (WTE) memicu polemik. Pihak pro adalah kalangan yang terkait dengan projek itu dan pemerintah kota sedangkan yang kontra berasal dari LSM dan masyarakat yang tak rela kotanya menjadi lautan abu yang sarat zat berbahaya-beracun.

Terlepas dari pro-kontra itu, tulisan ini berupaya objektif melihat risiko WTE dari sudut pandang lingkungan dan kesehatan. Di negara maju periset yang banyak meneliti insinerator menegaskan bahwa emisi polutan WTE jauh lebih bahaya daripada sistem disposal sanitary landfill (sanfil) atau bahkan buang bebas (open dumping). Ini lantaran pencemarnya dapat menyebar ke dalam tanah, air, dan udara seluas-luasnya ke segala penjuru. Akibat bentang alamnya, cemaran di Bandung akan kian parah karena udaranya tak bisa bebas bergerak sehingga terakumulasi dan makin bahaya akibat toksisitasnya tinggi dalam paparan singkat. Tidak demikian dengan sanfil dan buang bebas. Cemaran kedua cara klasik ini hanya terpusat di sekitar lokasi. Andaipun meluas, aliran lindinya pasti ke arah yang lebih rendah, tidak ke segala arah, apalagi seluas-luasnya.

Pencemar udara
Mengapa jenis dan keberacunan (toksisitas) WTE jauh lebih banyak dan lebih bahaya daripada sanfil? Ada satu jawabnya, yaitu WTE menghasilkan partikulat debu dan abu, gas-gas pembentuk asam klorida, fluorida, dan sulfur dioksida, juga logam-logam berat merkuri, kadmium, seng, nikel, timbal, dll. Tak ketinggalan karbon organik volatil pembentuk furan (polychlorinated dibenzofurans, PCDF) dan dioksin (polychlorinated dibenzo-p-dioxins, PCDD). Semua polutan itu dengan mudah tersebar ke segala arah lewat udara, melekat di daun, sayur, buah, sumber air, paru hewan ternak lantas beredar ke seluruh dagingnya dan paru manusia lalu beredar ke pembuluh darahnya. Di sanfil hal tersebut tidak terjadi sebab logam-logam beratnya terlarut dalam lindi, tanpa dioksin, dan tanpa furan.

Sama dengan sanfil, WTE pun menebarkan bau selama koleksi, transportasi dan penanganannya di instalasi. Ceceran kotoran bisa terjadi di mana-mana seperti halnya komposting dan sanfil. Hanya saja dalam WTE gas yang lewat pada lapisan sampah mengekstraksi abu, debu, dan arang lalu membawanya ke aliran gas cerobong dan ke luar ke udara bebas, dihembus angin sejauh-jauhnya. Umpan WTE pun tak boleh telat agar produksi energinya tak berkurang sehingga lalu-lintas truk demikian intensif, dikejar-kejar waktu. Reduksi jumlah sampah justru tidak diharapkan di sini. Makin banyak sampah makin disukai karena target energinya tercapai sesuai kontrak. Seolah-olah masyarakat harus membuang sampah sebanyak-banyaknya. Pemulung pun mungkin tak boleh lagi mengais sampah. Hal demikian tak pernah terjadi pada sanfil; sanfil relatif lebih ecofriendly dan bersahabat dengan pemulung.

Parahnya lagi, semua uap logam dan campurannya dapat mengembun membentuk aerosol partikel submikron yang berbahaya bagi paru. Begitu pun senyawa lain dalam sampah dan campuran klor, fluor, sulfur, nitrogen dan lain-lain menghasilkan gas-gas toksik dan korosif. Ketika pembakarannya tak sempurna, muncullah produk pirolisis karbon monoksida, volatile organic compound seperti polycyclic aromatic hydrocarbon, dioksin, furan, jelaga, dan tar. Partikulat abu adalah pencemar yang paling jelas, tampak secara visual berupa kepulan yang mengandung uap logam berat, dioksin dan furan. Di permukaan jelaganya pun disarati gas-gas asam klorida, fluorida, sulfat, dll yang semuanya dipengaruhi desain insinerator, pemanggang, ukuran dan bentuk ruang pembakarnya.

Karena ukurannya variatif, mulai dari satu mikron (bahkan kurang dari satu mikron) sampai yang terbesar 75 mikron, ada partikulat yang mudah masuk ke sistem pernapasan kita. Kira-kira 40% partikel berukuran 1 sampai 2 mikron akan tertahan di bronkioli dan alveoli paru. Yang ukurannya antara 0,25 sampai 1 mikron justru mudah ke luar masuk lewat udara pernapasan. Tapi yang kurang dari 0,25 mikron akan melekat akibat gerak Brown (Brownian motion). Untuk menyisihkannya, biasanya ditangani dengan kolektor debu seperti mekanikal separator, wet scrubber, atau fabric filter. Partikel berukuran 15 – 75 mikron secara efektif dipisahkan dengan cyclones sampai efisiensi 85%, dan yang ukurannya lebih kecil dipisahkan dengan fabric filter atau presipitator elektrostatik. Namun demikian, efisiensinya tak bisa sempurna 100% dan yang tak tersisihkan itulah yang potensial membahayakan kesehatan, makin lama makin tinggi konsentrasinya di udara kita.

Dari mana asal logam berbahaya itu? Dari sampah tentu saja; timbal dari sampah cat dan kaleng, merkuri dan kadmium dari baterei, aluminum foil, alat plambing, lembar seng, garam-garam volatil dst. Logam dan garam-garam itu mudah menguap karena titik didihnya rendah. Titik didih kadmium 765 oC, merkuri 357 oC, arsen 130 oC, PbCl (timbal klorida) 950 oC, dan HgCl2 302 oC. Semua spesiasi logam tersebut bergantung pada keberadaan klor, sulfur, karbon, nitrogen, fluor dan lain-lain selama pembakaran dan pendinginan gasnya. Reaksi dengan klor menghasilkan metal klorida; merkuri misalnya, akan membentuk senyawa yang terikat dengan halogen, yaitu merkuri (II) klorida (ini yang dominan) dan merkuri (I) klorida. Hanya peralatan canggih yang dapat menghilangkan logam berat volatil seperti merkuri itu.

Dampaknya luar biasa pada kesehatan, meliputi neurological atau nervous system (syaraf), hepatic system (hati), renal system (ginjal), hematopoietic atau blood-forming system (darah). Kadmium misalnya, menyerang pernapasan, ginjal, hipertensi, dan yang paling ekstrim adalah kerapuhan tulang dan sendi. Merkuri menyerang sistem syaraf pusat sehingga mengurangi penglihatan, sensori, pendengaran dan koordinasi tubuh. Timbal dapat mendisfungsi sistem hematologik dan syaraf pusat, merusak fungsi gastrointestinal, reproductive, endocrine, cardiovascular, immunologic, dan menurunkan taraf kecerdasan serta menyebabkan perilaku abnormal pada anak. Polycyclic aromatic compound, dioksin dan furan merusak paru, perut, ginjal, skrotum, dan liver. Beratnya lagi, dan ini tak terjadi pada sanfil, produk dioksin dan furan melekat pada abu dan air limbah WTE. Karena efek buruknya itulah dioksin dikenal sebagai “ the most toxic chemical known to man”. Dampaknya mampu merusak generasi lewat cacat genetis, merusak kromosom pembawa informasi keturunan (genetika), pencetus kanker (karsinogenik) dan mutagenik (pemutasi).

Daya rusak pencemar tersebut dicetuskan oleh senyawa berklor dari plastik, potongan PVC, kertas, karton dll. Dipastikan 60% asam klorida berasal dari PVC, 36% berasal dari kertas. Yang lebih reaktif dan korosif lagi adalah asam fluorida dengan emisi tipikalnya 3 sampai 5 mg per m3. Begitu pun NOx dan SOx yang dapat berubah menjadi asam kuat, asam nitrat dan asam sulfat. Semuanya berkontribusi pada hujan asam yang kaya logam berat, lalu diserap tanaman sayur dan rumput pakan ternak. Efek lainnya ialah kerusakan bangunan, pagar, mobil, motor, kebun, tanaman, dan hutan, termasuk korosi logam di WTE sehingga perlu biaya perbaikan. Belum lagi iritasi kulit dan kerusakan sumber air PDAM yang otomatis menaikkan ongkos produksinya dan berujung pada kenaikan tarif airnya. Luas sekali dampak buruknya, lebih banyak buruknya ketimbang baiknya.

Pencemar tanah-air
Tak bisa dimungkiri, air adalah senyawa penting dalam WTE dan terlibat signifikan dalam pembersihan pencemar terutama partikulat fly-ash dan bottom-ash. Selain kuantitas, kualitasnya pun harus memenuhi syarat minimal sebagai air penangkap partikulat. Air juga digunakan untuk berbagai keperluan domestik di instalasi WTE. Semua air bekas tersebut berubah menjadi air limbah yang potensial mencemari air tanah dan air sungai. Air limbahnya kaya logam berat dan garam anorganik, temperaturnya tinggi, sangat asam dan pada saat yang lain bisa menjadi sangat basa. Mudah berubah-ubah bergantung pada kondisi input sampahnya.

Sumber utama air limbahnya adalah pengolahan gas (flue gas), baik dari air untuk scrubber flue gas, maupun alkali scrubber untuk gas asam dan kerak di insinerator. Sumber lainnya dari olahan air baku untuk scrubber (scrubber water pretreatment), dan pengolahan air untuk boiler. Air limbah ini ber-pH kurang dari 1,3 (sangat asam) dan kaya logam berat nikel, seng, kadmium, merkuri dan timbal. Walaupun logam berat dalam air limbah dari flue-gas itu ditambah kapur untuk presipitasi, tetap saja sekitar 60% masih terkandung di dalamnya. Sisanya inilah yang potensial mencemari air. Bahkan lumpur presipitat itu pun masih mengandung logam berat dan harus ditangani khusus, tak bisa dibuang begitu saja. Itu sebabnya, pengolahan harus dilanjutkan dengan penambahan TMT 15 (trimercapto-s-triazine) dan “diharapkan” bisa disisihkan sampai batas yang diizinkan.

Pembersihan kerak bottom-ash dari pemanggang insinerator juga menjadi sumber air limbah yang karakternya mirip dengan fly-ash. Bottom-ash merepresentasikan 70% - 90% total abu yang kebanyakan mengandung oksida mineral. Inilah karakter utama insinerator, logam beratnya sangat tinggi di bottom-ash dan di fly-ash. Potensinya ini bergantung pada spesiasi logam, pH dan ukuran partikel. Makin kecil ukurannya makin besarlah potensi paparan dengan pelarutnya. Pada pH rendah pelindian tembaga, nikel, timbal, seng, dan kadmium makin besar. Tapi riset lain menyatakan, air yang kontak dengan fly-ash cenderung basa. Inilah sifat amfoter, tinggi pada semua pH, berbahaya dalam semua kondisi. Tambah besar lagi bahayanya kalau ada kegagalan operasi dan teledor dalam perawatan. Human error-nya tinggi. Dalam tahap awal operasinya boleh jadi semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tapi setelah sekian tahun, apalagi kalau ada kendala teknis yang mengharuskan suku cadangnya diimpor, mulailah timbul masalah. Belum lagi kalau ada kesulitan dana. Sejumlah insinerator di rumah sakit bernasib demikian.

Insinerator memang cara mudah pemunah sampah. Syaratnya adalah banyak uang. Tapi di baliknya ada ancaman ekologi dan kesehatan manusia. Adakah solusinya? Sejauh ini yang lebih envirofriendly adalah komposting dan/atau sanfil terkendali dan taat asas (konsisten). Jika konsisten pada desain, aturan main dan mau capek sedikit pasti akan lancar-lancar saja. Yang dibutuhkan pemerintah memang tak hanya kecerdasan intelektual (intelectual intelligence) tapi juga kecerdasan aspirasi (aspiration intelligence) agar berpandangan jauh ke depan demi kepentingan banyak orang, bukan orang per orang.***

1 Comments:

At 5:41 PM, Blogger Unknown said...

Pak, semoga belum terlambat ya. Saya pikir Bapak sudah mengalami sendiri bagaimana bersikukuhnya walikota Bandung. Yang harus diwaspadai sekarang adalah skema kerjasama antara pemkot Bandung dan investor tidak boleh sedemikian sehingga tanggung jawab ada di pemkot (artinya ada di pundak kita semua!), pemkot hanya memberi izin operasi, tetapi modal, pengoperasian, haruslah ditangani oleh investor, kalau berhasil investor untung kalau gagal pemkot (kita juga, sebagai pembayar pajak) tidak harus nombokin! Tetap semangat pak!

 

Post a Comment

<< Home