Pak Dudu Cikapundung
Pukul delapan pagi saya sudah sampai di jembatan Siliwangi. Sepintas saya menengok ke bawah. Air Sungai Cikapundung bergolak hebat dan tampak coklat. Keruh sekali. Beberapa onggok ranting, kayu dan dedaunan tersangkut di pinggir bangunan sadap milik PDAM Kota Bandung. Mendung menggayut. Sisa-sisa awan hujan semalam tampak kelam. Di utara kota, Gunung Tangkubanparahu seperti lenyap. Dingin mendesir-desir kulit. Sambil mengibas-ngibaskan tangan, saya menuju saung di tepi utara jalan Siliwangi. Di sana Pak Dudu sudah menanti.
"Sudah datang, Den?" sapanya ramah, bangkit dari kursi kayunya.
"Baru saja, Pak." Saya dipersilakan duduk di kursi satunya lagi. Sekejap kemudian, Bu Maman, istri Pak Dudu, datang membawa gorengan. Saya ditawari minum tapi dengan halus saya tolak. Bukan apa-apa, saya hanya ingin cepat-cepat ke sungai dan cepat selesai.
"Sekarang agak banjir, Den. Tadi malam deras sekali airnya," katanya sambil menikmati gorengan. "Mudah-mudahan bapak bisa mengumpulkan batu-batu itu hari ini. Air kelihatan tinggi dan keruh."
"Kira-kira berapa lama bapak mengumpulkan batu-batu itu?"
"Mudah-mudahan cepat, Den. Nanti dibantu anak-anak sepulang sekolah. SD-nya di Cihampelas." Telunjuknya lurus ke barat daya dari tempat duduk kami.
"Kelas berapa, Pak?"
"Yang pertama kelas enam, adiknya kelas tiga, Den."
Hening pun jatuh. Sejenak. Kami terlibat dalam pikiran masing-masing. Setelah cukup waktu, kami turun lewat bagian utara jembatan Siliwangi. Guyuran hujan semalam membuat licin jalan setapak dan rumput di kanan-kiri berisi air. Celana pun basah. Sepatu kets saya makin kotor, licin dan berat. Sambil menerabas rumput, Pak Dudu bercerita. Sungai itu, ketika dirinya masih kanak-kanak, sangat jernih airnya. Tak ada banjir seperti ini. Pak Dudu tak tahu jawabannya. Tak tahu kenapa air bisa tiba-tiba besar dan keruh. Padahal hujan cuma rintik-rintik dan tidak lama.
Dari kejauhan saya melihat gundukan batu yang setiap hari dikumpulkan Pak Dudu. "Bagaimana kalau yang ini, Den?" tanyanya sambil menjumput kerikil lalu mengusap-usap pasir yang menempel di permukaannya.
"Lebih kecil sedikit daripada yang ini, Pak" Saya lalu mengais-ngais tumpukan kerikil dan mengambil sebuah. "Sebesar ini, Pak!" Setelah menyerahkan kerikil itu saya menatap arus sungai yang deras. Orang dewasa pun pasti terseret olehnya.
"Yang sebesar ini banyak, Den. Tapi agak lama. Kira-kira dua hari baru selesai."
"Tak apa-apa, Pak. Saya perlu batu ini lima hari lagi."
---***---
Peristiwa itu terjadi delapan tahun lalu, tahun 1998, lima bulan setelah reformasi dan rusuh massal. Pekan lalu, Juni 2006 ini saya tak lagi bertemu Pak Dudu. Tak ada lagi orang yang pernah membantu saya mencari kerikil Cikapundung. Entah ke mana mereka pindah, saya tak tahu. Zaman berubah, Cikapundung kian parah. Kerikilnya makin sulit dikumpulkan. Lumpur erosi dari utara mengucur, membenamkan kerikil dan menghanyutkannya ke hilir. Kecuali sampah yang menumpuk, airnya tambah keruh dan membebani instalasi PDAM Badaksinga sekaligus memperkaya polutannya.
Padahal Cikapundung adalah salah satu sumber air warga Bandung dan menjadi sumber uang bagi Pak Dudu ketika itu. Tapi sekarang, polusi dan erosi mencuri sebagian sumber air warga Bandung dan sumber nafkah keluarga bawah. Maka, kalangan pemkot, DPRD, ormas, dan pengusaha yang antusias membuka Punclut, yang menurut pakar lingkungan Prof. Dr. Otto Soemarwoto dan DPKLTS akan memperparah kondisi Cikapundung pada masa datang, pastilah tak pernah merasakan menjadi Pak Dudu, tak pernah ke sisi sungai. Terlebih lagi dampak pembukaan Punclut akan berlawanan dengan Gerakan Cikapundung Bersih (GCB) yang justru dinobatkan oleh walikota Bandung. Kebijakan yang tidak bijak, kebijakan parsial, tidak integral demi laba segelintir orang Bandung.
Sekadar informasi, kerusakan Kawasan Bandung Utara (KBU) mencapai 70% padahal daerah itu dijadikan kawasan lindung dan daerah tangkapan hujan bagi cekungan Bandung. Potensi airnya 0,25 x 1,2 milyar m3 per tahun atau 60% dari sumber pasokan air tanah Kota Bandung. Pada musim kemarau, potensi air yang bisa dimanfaatkan hanya 10% atau 28.750.000 m3 per tahun, padahal kebutuhannya 182.500.000 m3 per tahun. Jadi sudah sangat defisit. Menurut prediksi National Geographic, pada tahun 2015 nanti kota Bandung akan berpenduduk 5,3 juta jiwa dengan kebutuhan air 386.900.000 m3 per tahun berbasis 200 liter per orang per hari (Sumber: Mubiar Purwasasmita, DPKLTS).
Setelah sampah jadi masalah, jangan pula air makin parah.*
Gede H. Cahyana
0 Comments:
Post a Comment
<< Home